Bab 1152
Bab 1152
Bab 1152 Pulang untuk Makan Malam
Emir mengantar Elan menuju parkiran luar. Salah seorang penjaga membuka pintu mobil untuk Elan dan pria itu segera masuk ke mobil sebelum berkata dengan sopan pada Emir, “Terima kasih karena sudah mengantar saya, Pak Emir.”
“Sama–sama. Sampai jumpa, Pak Elan,” jawab Emir dan melihat arak–arakan mobil tahan peluru itu melaju pergi.
Lalu, Emir kembali ke perusahaan dan membawa setumpuk dokumen ke Rendra, yang berdiri di depan jendela bergaya Prancis di ruangan itu sengan segelas kopi di tangannya. Dia sepertinya. sedang terlarut dalam pikirannya. Content bel0ngs to Nôvel(D)r/a/ma.Org.
“Apakah semuanya berjalan dengan lancar, Pak?” tanya Emir cemas.
“Iya. Lancar sekali.” Rendra mengangguk.
“Nona Raisa sudah tiba di vila baru orang tuanya dengan selamat. Keluarga Sayaka tidak akan meninggalkan rumah mereka selama beberapa hari ke depan. Mereka akan berada di bawah pengawasan kita sepenuhnya,” lapor Emir.
Rendra memicingkan matanya. Dia terus memikirkan Raisa yang pasti akan merasa bosan jika terlalu lama berdiam diri di dalam rumah. Jika bukan karena dirinya, wanita itu pasti tidak perlu melewati semua ini.
Tepat setelah itu, ponsel Rendra berdering, dan dia mengangkatnya. “Iya, Starla?”
“Rendra, apa kamu memulangkan Raisa kembali ke orang tuanya? Nanti malam adalah malam Natal. Apa menurutmu tidak apa–apa jika kita mengundang mereka untuk bergabung dalam perayaan itu?”
“Saya sedikit lelah hari ini, Starla. Saya akan membiarkan Emir mengurus semuanya.”
“Baiklah. Pulanglah untuk makan malam begitu kamu menyelesaikan pekerjaanmu. Ayah dan Ibu juga ada di sini.”
Hati Rendra menegang. “Starla, pastikan Ayah tidak mengetahui hubungan saya dengan Raisa.”
“Tenanglah. Semua orang sedang sangat berhati–hati sekarang. Tidak akan ada orang yang memberitahu Ayah tentang itu sebelum acara pemilihan umum dilaksanakan. Kami semua tahu bagaimana perangainya,” Starla meyakinkannya sebelum memberikan nasihat untuknya. “Jangan bekerja terlalu larut. Kamu juga harus memedulikan kesehatanmu.”
“Iya, saya paham.” Rendra tersenyum hangat. Kasih sayang keluarganya kepadanya adalah sumber kekuatannya.
Sementara itu, di sebuah vila di lereng bukit pusat kota, beragam sajian makanan sudah tersaji di atas meja makan, dan wanita yang berdiri di sebelah jendela bergaya Prancis itu tengah
menunggu kepulangan suaminya. Wanita itu mengenakan gaun berwarna abu–abu yang didesain khusus untuk wanita hamil. Dari belakang, dia masih terlihat seperti seorang wanita muda, namun jika orang–orang berjalan di dekatnya, mereka akan bisa melihat perut indahnya. Dia mengusap perutnya sambil menunggu dengan sabar.
Tepat setelah itu, dia melihat sorot lampu mobil yang mulai mendekat. Bibirnya. menyunggingkan senyuman. Dia akhirnya pulang.
Di dekat meja makan, seorang pria tua duduk sambil bermain catur bersama cucunya. Pewaris muda keluarga Prapanca itu sudah menunjukkan semua bakat dirinya yang sangat cerdas. Dia memikirkan setiap langkahnya dengan sangat hati–hati, sampai–sampai Frans mulai merasa tertekan! Bagaimanapun juga, bocah berusia enam tahun itu sudah menang beberapa kali sekarang.
“Jodi, apa kamu masih belum memikirkan langkahmu berikutnya?” tanya Frans sambil
tersenyum.
“Tunggu dulu, Kakek. Saya hampir mengetahuinya.” Jodi mendongak. Wajah tampannya terlihat semakin mirip dengan ayahnya dari hari ke hari.
Jodi akhirnya memutuskan langkahnya dan Frans hanya bisa berseru kaget melihat betapa ahlinya dia dalam permainan catur. Langkah yang diambilnya adalah langkah yang mungkin paling bagus.
“Giliranmu, Kakek!” Jodi tersenyum lebar. “Ya Tuhan. Kamu sudah hampir sehebat Kakek sekarang. Biar Kakek pikir–pikir dulu.” Frans mengamati bidak–bidak catur itu seakan–akan dirinya sudah menemukan orang yang sebanding dengannya.
Jodi menyangga kepalanya dengan tangannya sambil menunggu. Dia benar–benar terlihat seperti seorang pria mungil dalam balutan sweater hitamnya. Saat dia mendengar bunyi sesuatu dari luar sana, dia tersenyum dan berkata, “Papa saya sudah pulang.”
Frans mengangguk. “Iya! Tepat sekali saat makan malam Natalan.”
“Mama harus pergi ke rumah sakit begitu kita selesai makan malam. Saya akan bertemu adik saya beberapa hari lagi,” ucap Jodi bersemangat.
“Itu benar! Kita akan segera kedatangan anggota keluarga baru.” Frans sama antusiasnya mengenai hal itu. Di usianya yang renta, tidak ada yang lebih berarti daripada menghabiskan waktu bersama keluarganya.
Dengan berlatarkan langit sore hari, Elan turun dari mobilnya dan berlari ke arah rumah. Saat dia melihat wanita itu tengah menunggu di depan pintu, dia segera memeluknya dan bertanya, “Kenapa kamu berdiri di depan pintu saat cuaca dingin seperti ini?”
“Saya sedang menunggumu, tentu saja!” Tasya memiringkan kepalanya untuk menatap wajahnya. Cahaya lampu menyinari sosok lembutnya dan kehangatan dari keindahan sosoknya terlihat bersinar. Meskipun dia sedang hamil, dirinya masih sama menariknya dengan dulu.