Bab 1151
Bab 1151
Bab 1151 Rapat dengan Elan
Sosok itu adalah seorang pria dalam balutan jas berwarna gelap. Tingginya lebih dari 180 cm dan memiliki aura berkuasa di dalam dirinya. Emir mengulurkan tangannya dengan sopan dan berkata, “Silahkan masuk, Pak Elan.”
Begitu Emir membawa tamu itu masuk, dia kembali ke ruangan terdekatnya. Kurang dari sepuluh menit kemudian, dia melihat seorang staf bergegas pergi menuju ruangan Rendra dengan setumpuk dokumen di tangannya. Emir segera memanggil dan menghentikan pria itu.
“Chakka, kamu tidak boleh masuk sekarang. Pak Rendra sedang mengadakan rapat penting saat ini.”
“Urusan saya juga sangat penting. Saya membutuhkan tanda tangan Pak Rendra secepatnya.” Pria itu, Chakka Ardhitya, menggoyang–goyangkan dokumen itu di depannya. NôvelDrama.Org is the owner.
“Tunda dulu selama mungkin. Saya yakin Pak Rendra sedang tidak ingin diganggu oleh alasan apapun sekarang.” Nada suara Emir terdengar lebih serius dari biasanya.
Chakka akhirnya menyerah. Kapanpun Emir menggunakan nada suara seperti itu, artinya Rendra sedang mengadakan pertemuan dengan seseorang yang teramat penting.
“Kalau begitu kapan saya bisa kembali ke sini?” tanya Chakka bingung.
“Kembalilah dua jam lagi,” jawab Emir.
Chakka tidak punya pilihan selain pergi bersama dokumen–dokumennya. Emir menatap pintu ruangan itu. Rendra saat ini sedang membahas sesuatu yang berkaitan dengan pemilihan umum, dan dia bahkan tidak berani masuk untuk sekedar menyajikan teh dan kopi untuk mereka. Selama dua jam ke depan, Rendra sendiri–lah yang menjamu tamunya itu.
Orang itu adalah Elan Prapanca.
Dia adalah pria terkaya di seluruh negeri dan telah membangun kekayaannya juga dalam skala internasional. Dia sangat dihormati, dan meskipun dirinya adalah seorang pebisnis, tidak ada yang berani meremehkan pengaruhnya. Karena dia sekarang mendukung Rendra, Emir yakin kalau Rendra tidak akan mendapatkan masalah apapun di pemilihan yang akan datang.
Raisa tiba di rumah barunya. Lingkungannya damai dan jauh dari hiruk–pikuk pusat kota, namun hal itu memberikannya rasa aman yang kuat. Setiap vila memiliki seorang pelayan, dan semua kebutuhan mereka akan diurus tanpa perlu keluar dari rumah.
Roni dan Clara mendapatkan libur tambahan, sehingga mereka bisa beristirahat sampai bulan Juli tahun depan. Rendra adalah orang yang memberitahu mereka tentang hal ini. Dengan demikian, mereka tidak perlu terburu–buru kembali bekerja ke luar negeri. Mereka justru bisa menikmati kedamaian dan ketenangan di kota asal mereka.
“Ayah, Ibu, apa kalian tahu apa yang terjadi?” tanya Raisa dengan nada terkejut saat mendengar kabar itu.
“Tidak ada apa–apa, gadis bodoh. Rendra hanya ingin melindungi kami! Pemilihan umumnya akan terjadi sebentar lagi dan orang–orang yang ingin menggeser kedudukannya akan mencoba
mempengaruhinya dengan menyerang orang–orang di sekitarnya. Kamu adalah sasaran utama mereka, jadi Rendra berencana untuk melidungi kita semua,” jelas Roni.
Raisa mengangguk paham, sementara Clara lalu menambahkan, “Jangan takut, Raisa. Rendra akan melindungimu.”
“Ayah. Ibu, saya tidak takut.” Tatapan mata Raisa terlihat serius. Dia sudah memutuskan untuk menemani pria itu melewati semua masa–masa sulit ini.
Ada setumpuk dokumen yang menumpuk di atas meja Emir dan dia sudah menerima beberapa panggilan yang disertai dengan peringatan–peringatan mendesak, namun dia hanya bisa menahannya untuk sekarang. Dia menatap jam tangannya dan mengetahui sudah dua jam berlalu.
Tepat setelahnya, dia mendengar pintu ruang utama itu terbuka. Rendra keluar lebih dulu dan menepi untuk mempersilahkan Elan lewat. Sebagai pemimpin di bidang mereka masing–masing, mereka seimbang dalam hal apapun, dan saat mereka berdiri berdampingan, itu hanya membuktikan kalau orang–orang hebat memang akan selalu dipertemukan.
Mereka berdua adalah orang–orang yang termasuk dalam 1% masyarakat puncak dan memiliki sikap kepemimpinan di antara semua orang. Kehadiran dan aura mereka tidak mungkin bisa ditiru ataupun dipalsukan. Hal itu adalah sesuatu yang hanya bisa dibuat secara alami.
“Pak, saya akan mengantar Pak Elan keluar,” Emir datang mendekati mereka dan mengatakan hal tersebut.
Rendra mengulurkan tangannya ke arah Elan yang kemudian menjabatnya tanpa ragu. “Sampai jumpa lagi, Elan. Saya tidak akan mengantarkan Anda, kalau begitu.”
“Iya, Anda tidak perlu mengantar saya. Ayo kita lihat jadwal masing–masing dan mencari waktu untuk mengajak Raditya makan bertiga bersama kita,” ucap Elan sambil tersenyum. Mereka sama–sama memberikan tatapan mengerti dan simpati kepada satu sama lain.
“Tentu saja. Ayo kita lakukan di saat kita semua memiliki waktu luang.” Rendra mengangguk dan tersenyum.
Emir merasa sedikit tertekan saat berdiri di sebelah mereka. Dirinya sendiri memang sangat tampan, namun jika berdiri di depan kedua orang ini, harus dia akui kalau mereka adalah pria- pria terbaik yang bisa menguarkan aura kepemimpinan.