Bab 73
Bab 73
Bab 73
Dengan air mata yang bergenang, Samara menatap Asta.
Sebelum dia sempat menyeka air matanya, air mata sebesar kristal itu pun jatuh dari sudut matanya.
Samara tidak suka terlihat lemah di hadapan orang lain, apalagi di hadapan Asta.
“Tidak perlu kamu pedulikan.” Samara berkata sambil melirik Asta, menyingkirkan tangannya.
Dia hampir saja pergi dan melarikan diri dari gedung taman kanak–kanak.
Beberapa tahun ini.….
Dia telah berusaha semaksimal mungkin untuk melupakan rasa sakit itu.
Namun melihat Oliver dan Olivia yang seumuran dengan anak-anak kembarnya, dia masih saja terus teringat akan kenangan yang menyakitkan
itu.
“Kamu baik–baik saja, kan?” Monica berjalan ke samping Samara dan memberikan tisu kepadanya.
Samara menoleh, lalu dia melihat seorang wanita muda yang mengenakan gaun putih.
“Kamu adalah?”
“Saya adalah guru seni Oliver dan Olivia, nama saya, Monica.” Monica menyerahkan tisu yang ada di tangannya lagi, “Saya tidak bermaksud apa apa, hanya saja saya melihatmu menangis, jadi saya ingin memberikanmu tisu.”
“Terima kasih.”
Samara mengambil tisu itu dan menyeka air mata dari wajahnya.
“Oliver dan Olivia adalah...”
“Teman saya.” Samara menjawab Monica yang bertanya–tanya.
Dia tidak memiliki hubungan darah dengan Oliver dan Olivia, jadi dia tidak pernah menganggap dirinya sebagai tetua dari kedua anak kecil yang imut itu.
Monica mengibas poninya dan lanjut bertanya, “Lalu hubunganmu dengan Pak Asta?”
Begitu mendengar pertanyaan ini, Samara langsung mencium motif tersembunyi dan mengerti maksud hati ibu guru Monica ini.
“Apakah kamu menyukai Asta?”
Monika tidak menyangka bahwa Samara akan menanyakan pertanyaan itu secara gambling, wajahnya pun langsung memerah: “Kamu...”
“Sepertinya begitu.”
“Kenapa kamu berbicara seperti itu? Monica pun kesal, “Apakah saya membutuhkan persetujuanmu untuk menyukai Asta?”
Samara memandang Monica yang penuh amarah, lalu menghela nafas pelan.
Apakah dia mengira bahwa mereka ditakdirkan bersama hanya karena dia menyukainya?
Apakah pria seperti Asta hanya bisa dia lihat dari kejauhan tapi tidak bisa dia miliki?
“Kenapa kamu menghela nafas?”
“Menghela nafas atas kemustahilan antara kalian.” Samara berkata tanpa segan: “Ibu Guru Monica, kamu dan Asta tidak akan bisa berakhir bersama, jadi jangan menghabiskan waktumu untuknya.”
“Saya tidak akan bisa berakhir bersama dengannya, lalu kamu bisa berakhir bersama dengannya?”
Monica tidak lagi berpura–pura menjadi wanita yang polos dan lugu, alisnya yang awalnya tenang dan mata yang lembut itu tiba–tiba menjadi
tajam dan kejam.
“Tidak kamu berkaca untuk melihat dirimu sendiri? Kamu?” Monica menunjuk wajah Samara, “Wajahmu penuh dengan binyik–bintik seperti biji wijen, terlihat sangat kotor dan tidak menggugah selera.”
Samara tidak menyangka bahwa sikap Monica bisa berubah begitu cepat, tatapannya juga berubah menjadi dingin.
“Monica, sebagai seorang guru, seperti itukah caramu berbicara?”
“Di mana perkataanku yang salah?” Monica menatap wajah Samara yang kecil, matanya penuh dengan kesombongan, merasa dirinya benar: “Apakah kamu tidak senang karena saya lebih cantik darimu? Tidak senang karena saya menyukai Asta?
Saya tidak tahu cara kotor seperti apa yang kamu gunakan untuk mendekati Asta.
Tapi wanita jelek dan tidak sadar diri sepertimu sungguh membuat orang kesal.”
Jelek?
Samara hampir gila karna marah.
Wanita itu rela jelek, jika dia melepas topeng wajah–nya, mari kita lihat sebenarnya siapa yang jelek.
“Kamu, menjauhlah dari Asta.”
Monica berjalan dengan sombong, dan dia juga sangat ingin mendorong Samara. NôvelDrama.Org holds text © rights.
Tapi begitu tangannya menyentuh pergelangan tangan Samara, Samara membalikkan badannya dan tangannya pun ikut diputar ke belakang badannya.
“Jika tadi saya berpikir kalian tidak mungkin berakhir bersama, sekarang saya merasa bahwa kamu bahkan tidak layak untuk Asta.”
“Sakit—” Monica kesakitan hingga meneteskan air mata.
Tepat di saat itu.
Monica melihat sosok Asta.
Seperti melihat malaikat penyelamat, Monica pun mulai menangis senggugukan: “Pak Asta, selamatkan saya, wanita ini ingin memukul saya.”
Next Chapter