Bab 219
Bab 219
Bab 219
Setelah Samara selesai memesan sup dasarnya, berturut turut juga memesan beberapa porsi bahan makanan hotpotnya.
Setelah lewat beberapa saat.
Pelayan mengantarkan pesanan mereka berupa sup panas dan bahan–bahan lainnya yang segar.
Widopo menatap Samara memasukkan bahan bahan tersebut sedikit demi sedikit ke dalam sup merah yang mendidih, timbul perasaan cinta di hatinya.
“Sejak kecil karena Sindrom dingin menyebabkan saya menderita penyakit paru paru yang parah, ini baru pertama kali saya makan hotpot.” Widopo mendesah.
“Mengapa tiba tiba begitu sedih?” Samara memasukkan babat yang telah masak ke dalam mangkuk di hadapan Widopo, “Makan hotpot bukan seperti makan Buah Darah Ular, bukan masalah yang sulit, di dalam hidupmu selanjutnya masih bisa menikmati makan hotpot sesukamu!”
Mendengar perkataannya.
Hati Widopo seperti kembali diikat dengan kuat oleh seutas tali yang tidak kelihatan.
Mengapa kegundahan hatinya selalu begitu mudah dapat diselesaikan oleh perempuan kecil ini?
Asalkan dia berada di sisinya, maka segala kegundahan hatinya akan segera sirna.
“Melamun lagi? Jika tidak suka makan berikan saja kepada saya.”
Samara melihat babat yang ditaruh di mangkuk Widopo sama sekali tida! dimakannya, apakah tidak suka dengan pemberiannya, dia berlagak hen mengambil balik, tetapi ditahan oleh Widopo.
“Siapa yang bilang saya tidak suka?” Widopo cepat cepat menyumpit babat dan masukan ke dalam mulut lalu mengunyahnya, “Saya biarkan agak dingin dulu baru makan.”
“Tuan muda Widopo, saya sudah menemanimu makan, kamu tidak boleh mengingkari janji untuk memberikan Buah Darah Ular.” “Tentu saja.”
“Ng.”
Bab 219
5 mutiara
Samara mengangkat mangkuknya, sambil makan darah bebek yang wangi dan pedas. perasaanya sedikit membaik.
Sekali menemani makan ditukar dengan sebiji Buah Darah Ular, mending masih bisa mengulur sedikit waktu sebelum berhasil mendapatkan Buah Darah Naga.
Buah Darah Naga hai Buah Darah Naga!
Mau kemana mencarimu?
Di dalam ruangan, perhatian Samara jatuh pada sup hotpot yang terus menerus mendidih, sedangkan Widopo sibuk menatapnya, merasakan dia sangat gemas seperti seekor anak kucing, cerdas dan licik, dan mempunyai temperamen tersendiri. Jika kamu tidak memancingnya dengan sedikit barang yang disukainya, dia bisa langsung mengabaikan kehadiranmu.
Selesai memasak hotpot.
Samara konsentrasi memakan nasinya, Widopo semakin senang melihatnya.
Waktu meninggalkan restoran hotpot, hari mulai gelap, lampu lampu neon di jalanan mulai menerangi.
“Temani saya sekali lagi untuk mencari hadiah buat nenek saya, selesai membeli hadiah saya akan menyuruh Kiky mengantar Buah Darah Ular itu ke alamat yang kamu tentukan.” Dia berkata sambil menyeringai dan sebelah tangannya dimasukkan ke dalam kantong.
“Baiklah.” Original from NôvelDrama.Org.
Samara mengikuti Widopo sampai ke mall CBD yang mempunyai kumpulan toko toko yang menjual barang barang mewah.
Widopo membawa Samara memasuki sebuah toko perhiasaan yang boleh dikan mewah, para pelayan toko semuanya berdandan dan berpakaian rapi dan canuk.
Kemunculan Widopo menyebabkan para pelayan toko langsung mawas diri, melihat penampilan Widopo mereka langsung tahu dia adalah orang kaya dan berada.
Tetapi waktu menatap wanita yang mengikutinya, pakaiannya sederhana, wajahnya biasa biasa saja sama sekali tidak ada yang spesial, jika dibandingkan dengan Widopo seperti perbandingan langit dengan bumi.
“Wanita ini….sangat jelek.....”
“Tidak tahu taktik apa yang digunakan baru bisa berada di sisi pria itu?”
“Shh, kecilkan suaramu! Awas nanti….kedengaran mereka!”
VUOV
“Betul betul! Tapi bagaimana ini.......ini seperti kodok jelek sedang mengharapkan dapat menggigit leher angsa!”
Samara yang mendengarnya sudah hampir membalikkan bola matanya alias mendelik
Samara mengakui topeng wajahnya memang jelek, tetapi bagaimana mereka bisa membandingkannya dengan perumpamaan seperti itu, kodok jelek sedang mengharapkan dapat menggigit leher angsa?
Mungkin standar bahasa dan kesopanan dari pelayan di toko ini diajari oleh seorang
guru olahraga.
Tentu saja Widopo juga mendengar bisikan mereka, dia menatap wajah kecil Samara, membayangkan wajah Samara yang sangat cantik tanpa topeng wajah, sudut mulutnya langsung menyeringai.
Telapak tangannya langsung menggandeng pergelangan tangan Samara, menariknya agar lebih dekat ke tubuhnya.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Perempuan kecil, saya mau kamu lebih dekat sedikit.” Widopo berkata dengan maksud mendalam, “Paling bagus jika bisa selamanya berada dalam pandangan yang dapat dijangkau oleh saya.”