Bab 251
Bab 251
Kata-kata yang Harvey katakan tepat menyentuh hati Selena. Laki—laki itu tahu betul seberapa besar keinginan Selena untuk dipeluk oleh seorang Ibu.
Orang yang selalu Selena nanti-nantikan malah bersikap seperti ini saat dia pulang. Harvey tahu kalau saat ini Selena pasti sedih sekali.
Namun, Malsha tidak mengerti.
Dia tidak menyukal Arya dan juga tidak peduli dengan putrinya.
Meskipun Agatha tidak menghormatinya, tetapi Agatha sering kall membuatnya repot, terutama ketika Calvin tidak ada.
Namun, manusia memang jahat. Dia akan menunjukkan sisi yang paling lembut kepada orang luar dan menunjukkan sisi negatifnya pada orang terdekat.
Wanita itu sudah bertahun—tahun berusaha untuk menyenangkan Agatha, hingga sekarang sudah menjadi sebuah kebiasaan.
Sama seperti kebiasaannya mengabaikan Selena, tidak peduli, tidak ambil pusing bahkan membiarkannya begitu saja.This is property © of NôvelDrama.Org.
Perkataan Harvey sama sekali tidak membuatnya merenung. Wanita itu terlihat mempertahankan pendiriannya. “Aku cuma tahu kalau sekarang kamu akan bertunangan sama Agatha dan hubunganmu
dengan Selena sudah menjadi masa lalu. Selena, Ibu mohon padamu, jauhi Harvey dan jangan menghancurkan kehidupan Agatha, oke?”
Hati Selena hancur. Harapan yang baru saja dia bangkitkan dengan susah payah, perlahan—lahan. dipadamkan oleh Maisha.
“Nyonya Maisha, apakah semua yang aku lakukan itu salah?”
*Kalau kamu memang benaran tahu adab, silakan tinggalkan Harvey dan bukannya ada di sini hingga membuat Agatha jadi bahan olok—olok.”
Raut wajah yang dingin itu membuat Selena teringat saat dia masih kecil. Dia selalu berusaha untuk mendapatkan nilai terbaik dan memberikan lembar ujiannya kepada ibunya dengan puas. Namun,
ekspresi yang ibunya tunjukkan selalu terlihat seperti ini. Sama sekali tidak peduli. “Oke, cuci tangan terus makan. Nanti sore ada les plano di rumah. Aku mau pergi ke salon dulu.*
Tidak pernah sekali pun Selena mendapatkan pujian yang selalu dia nanti-nantikan. Dia sendiri tidak tahu di mana letak kesalahannya.
Padahal jelas—jelas teman sekelasnya bilang kalau orang tua menyukai anak yang pintar dan hebat.
Namun, mengapa Ibunya tidak pernah memujinya?
Pasti karena dirinya tidak cukup hebat dan harus berusaha lebih keras lagi.
Selena memang pintar. Dia tidak menyia—nylakan kepintarannya dan lebih rajin daripada orang—orang
lainnya.
Semua orang memujinya, kecuali ibunya sendiri.
Hingga saat ini, barulah dia mengerti bahwa ketika seseorang tidak menyukainya, bahkan bernapas saja salah bagi orang itu.
Ibunya tidak menyukal keberadaannya dan bahkan menganggap kalau Selena adalah noda karena telah berkhianat pada cinta pertamanya.
Bahkan jika Selena mengambilkan sebuah bintang di langit dan memberikannya pada Maisha, dia juga tidak akan ambil pusing dan malah merasa kalau Selena adalah manusia yang kotor.
Saat Selena masih kecil, dia masih bisa berkhayal kalau Ibunya mungkin sedang memiliki masalah dan tetap mencintai dirinya. Saat Selena sudah dewasa, barulah dia tahu seperti apa Maisha sebenarnya. Maisha sama sekali tidak mencintal Selena.
Meskipun Agatha tidak memiliki hubungan darah dengan Malsha, tetapi karena dia adalah putri dari orang yang dicintainya, Maisha malah memeluk dan memanjakannya.
Selena mendongak, berusaha sekuat tenaga agar air matanya tidak jatuh. Di saat-saat seperti ini, lambungnya juga bermasalah dan mengganggunya. Posisi di mana lambungnya yang sakit selama dua hari ini sudah terasa baikan, kali ini lagi-lagi terasa sakit kembali.
Begitu melihatnya Selena yang diam saja, Maisha menghela napas lega, “Selena, jangan bilang kalau Ibu pilih kasih. Dari kecil kondisi badan Agatha nggak sehat. Dia sudah menikahi orang yang dia sukai dengan jalan yang nggak gampang. Kita ‘kan satu keluarga, kamu ngalah saja, ya, demi Ibu. Lepaskan saja perasaanmu yang dari awal memang nggak seharusnya ini supaya semua sama-sama senang.
Oke?”
Selena tersenyum dingin. “Ibu bilang kondisi tubuhnya nggak sehat?”
“lya, Agatha itu punya sakit insomnia sampal dia sering banget nggak bisa tidur. Kamu tahu, ‘kan kalau tidur itu penting? Kalau nggak bisa tidur terus, nggak bagus buat kesehatannya.”
Selena mundur satu langkah dan tersenyum dengan raut wajah terluka. “Hehe, memangnya bisa separah apa sakitnya? Apa bisa buat dia mati, ya?”
“Puih, puih! Kamu ngomong apa, sih! Agatha pasti berumur panjang. Memangnya dia sekuat kamu? Kita 2/3
ini ‘kan keluarga, kenapa kamu bertengkar terus sama dia? Mengalah saja nggak bisa, ya?”
Selena marah dan menarik kerah baju Maisha. “Kalau dia boleh berumur panjang, masa aku yang harus cepat mati?Kita semua hanya hidup satu kali, kenapa aku harus mengalah terus sama dia?”
Maisha marah sampai gemetaran. Dia mengangkat tangannya dan bersiap menampar Selena. “Kurang ajar! Begini, ya caramu bicara sama Ibu?”
Sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangan Maisha, mencegah tamparan itu terjadi.